Bittersweet (Part 8)

BitterSweet6

Part 8

“Apa kau menyukai pasta tadi?” Tanya seorang laki-laki yang mengenakan seragam berwarna biru gelap kepada gadis yang mengenakan seragam dengan warna sama yang berada dirangkulannya.

“Eung.” Gadis itu mengangguk singkat.

“Eum… lalu apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang?” Tanya pria itu sekali lagi.

“Entahlah, aku juga tidak memiliki ide apapun.” Gadis itu menggeleng pelan.

“Sebentar oppa,” gadis itu berjongkok untuk membetulkan tali sepatunya yang lepas.

Murid laki-laki itu ikut menekuk lututnya dan menemukan suatu hal yang baginya amat tidak pantas.

“Mwoya?” ucap murid laki-laki itu tidak senang.

“Wae?” gadis di depannya hanya menyahut dengan nada kebingungan.

“Mengapa kau memakai sepatu seperti ini?” Tanya murid laki-laki itu setengah membentak.

“Wae? Sepatu ini terlihat baik-baik saja bagiku. Ini juga masih terasa nyaman saat dipakai, lalu apa salahnya?” sahut gadis itu santai.

“Apa salahnya?!” kali ini murid laki-laki itu tidak dapat menahan kekesalannya, “Lee JungAh, sepatu yang kau kenakan ini sudah sobek.”

“Lalu apa masalahnya? Aku masih nyaman dengan sepatu ini, dan orang lain tidak terlalu mempermasalahkannya.”

“Neo..” Lee SungMin, murid kelas tiga SMA itu bangkit berdiri, “Sekarang aku tahu apa yang harus kita lakukan.”

“Mwo?” sahut Lee JungAh, gadis yang berumur 2 tahun lebih muda dari Lee SungMin dan bukan merupakan adiknya.

“Kita akan berbelanja beberapa keperluan untukmu.”

“Geundae…” terlambat, Lee SungMin telah menarik lengan JungAh untuk mengikutinya ke department store terdekat.

Sekarang mereka tengah asyik mengunjungi toko demi toko yang menjual sepatu, mencari sepatu tercocok untuk JungAh, gadis yang dianggap amat special oleh seorang SungMin.

“Sepatu adalah harga diri seorang wanita, apa kau tidak mengetahui hal itu?” ucap SungMin saat JungAh tengah mencoba sebuah sepatu dengan motif floral.

“Kau menyukai sepatu barumu?” Tanya SungMin setelah membayar sepasang sneakers berwarna biru laut bagi juniornya itu.

“Eung.” Gadis itu mengangguk, “Gomawoyo oppa.” Ia tersenyum tulus.

“Sekarang, kita harus mencari sebuah dress yang bagus untukmu.” Murid laki-laki itu membuat keputusannya sendiri.

“Untuk apa?” Tanya gadis itu kebingungan.

“Apa maksudmu untuk apa? Untuk kau kenakan saat pesta graduationku nanti.” Balasnya dengan senyum lebar.

“Cish, seperti kau akan lulus tahun ini saja.” Gumam JungAh dibelakang SungMin.

“Mworago?” SungMin menghentikan langkahnya dan menatap tajam pada JungAh, “Tentu saja aku harus lulus tahun ini, jika tidak bagaimana dengan nasibmu?” Gadis di belakangnya itu hanya berdecih pelan.

Mereka memasuki sebuah took yang khusus menjual dress pesta yang amat mewah dan elegan.

“Oppa,” panggil gadis itu setengah berbisik, “lebih baik aku membeli dressku sendiri saja, aku yakin aku dapat menemukan dress yang bagus di pasar dekat rumahku.”

“Neo,” SungMin menaikan nada bicaranya, “Aku tidak mau kau dilecehkan oleh siapapun lagi, jadi turuti saja apa yang kukatakan. Mengerti?” dan mereka memilih dress untuk JungAh dalam diam.

Sejujurnya, JungAhlah yang paling banyak diam, sedangkan SungMin terus merecokinya dengan berbagai macam pertanyaan seperti, ‘apa kau suka motif ini?’, ‘apa kau suka model ini?’ dan lainnya yang menurut JungAh amat tidak penting. Baginya, sebuah dress hanya perlu nyaman digunakan dan cukup menutupi tubuhnya, tidak kurang dan tidak lebih, hanya dua hal itu saja.

“Bagaimana kalau kau makan malam dirumahku saja?” tawar SungMin.

“Aniya, aku telah banyak merepotkanmu oppa.” Tolak JungAh sopan.

“Tapi aku memaksa.” Untuk kesekian kalinya dalam jangka waktu hari ini Lee SungMin menarik lengan JungAh lalu mendorongnya masuk kedalam sebuah taksi yang ada di depan department store yang mereka kunjungi.

“Gamsahamnida ahjussi.” Ucap SungMin seraya membayar tariff taksi kemudian mengajak JungAh turun.

“Masih ada banyak waktu sebelum makan malam,” ucap SungMin seraya menggantungkan jaketnya ke gantungan coat yang ada di sebelah pintu masuk yang super besar itu, “kau boleh bermain di ruang bermain yang keluargaku miliki di lantai dua.”

Memang rumah ini amat besar. Walau dari luar hanya terlihat ada 2 lantai, namun sesungguhnya rumah ini memiliki 3 lantai di dalamnya. Dekorasi yang amat elegan dan indah menyambut mata JungAh. Rumah pamannya mungkin hanya sebesar separuh teras depan rumah ini yang tadi ia lewati bersama SungMin. Lantai marmer yang membentuk bunga lotus terlihat amat cantik dengan chandelier yang menggantung diatasnya.

“Mwohae?” SungMin menyadarkan JungAh dari kegiatan mengagumminya, “Ayo kita naik.”

JungAh melangkahkan kakinya mengikuti SungMin dari belakang hingga mereka sampai di depan sebuah pintu berwarna broken white.

“Kau boleh memainkan game mana saja setelah kau masuk, namun tolong jangan menjerit histeris, itu akan sangat mengganggu.” Jelas SungMin sebelum membuka pintu ruangan itu.

Benar kata SungMin, siapapun yang memasuki ruangan ini akan menjerit kegirangan. Betapa tidak? Ruangan ini memiliki design layaknya orang yang berada di dalamnya tengah berada di angkasa luar. Bukan hanya itu, ruangan itu juga memiliki berbagai macam arcade game layaknya tempat bermain yang ada di mall-mall besar, sebut saja layaknya ‘Timezone’ ataupun ‘Amazone’. Ruangan ini adalah impian setiap gamer. Kalian dapat memainkan game favorit kalian tanpa membayar.

“Ige…” akhirnya JungAh dapat keluar dari kekagumannya.

“Nuguya?!” jerit seorang laki-laki yang mengenakan kemeja putih, nampaknya itu adalah kemeja seragam sekolah mereka, ia keluar begitu saja dari sebuah box yang bertuliskan ‘Safari Hunt’.

“SungJin-ah.” Sapa SungMin lembut.

“Nuguya hyung?” tanyanya seraya menunjuk JungAh.

“Ia adalah JungAh, temanku.”

“Eyy, mana mungkin kau membawa temanmu ke tempat bermain ini? Ia pasti pacarmu kan hyung?” SungJin menggoda kakak laki-lakinya itu. Namun begitu efeknya tidak berlaku bagi SungMin, namun wajah JungAh-lah yang memerah.

“Noona, apa kau sekelas dengan hyung-ku ini?” Tanya SungJin.

“Ia seumuran denganmu bodoh.” SungMin membalas pertanyaan SungJin sebelum JungAh dapat membuka mulutnya, “Dan JungAh-ah, ini adalah adikku, SungJin.”

“Anyeong.” Sapa SungJin dengan senyum lebar yang dibalas dengan anggukan oleh JungAh.

“Geundae oppa, bagaimana kau bisa memiliki seluruh mainan ini?” Tanya JungAh takjub.

“Kau tidak tahu?” SungJinlah yang menyahut, “Orang tua kami adalah salah satu pemilik perusahaan termaju di Korea. Jadi kami memiliki cukup banyak uang untuk membeli ini.” Bangga SungJin.

“Babo!” SungMin memukul kepala SungJin keras, “Sudah berapa kali kubilang untuk tidak menyombongkan diri? Hah?!”

“Mianhae hyung…” SungJin mengerucutkan bibirnya.

“Kalian kutinggal dulu. Kau,” ia menunjuk SungJin, “jangan buat masalah.” Kemudian SungMin meninggalkan mereka di ruangan itu.

<<>>

KyuHyun menghentikan mobilnya di depan pintu utama perusahaan besar itu kemudian melepaskan sabuk pengamannya.

“Naeryeoyo.” (Ayo turun) ucap KyuHyun pada gadis yang duduk di sebelahnya dengan tegang selama perjalanan.

“Saja…”

“Diam.” desis KyuHyun pada sang petugas valet.

“Jweisonghaeyo saja…” belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya KyuHyun menginjak kakinya dengan keras yang membuat sang petugas valet mengerang kesakitan.

“Parkirkan mobilku di tempat biasa lalu kembalikan kuncinya ke mejaku.” Ucap KyuHyun dingin seraya memberikan kunci mobilnya kepada sang petugas valet.

“JungAh-ssi,” panggil KyuHyun pada gadis yang masih berdiri di dekat pintu mobil dengan ekspresi agak takut, “astaga. Aku tidak akan memakanmu JungAh-ssi, gajayo.” KyuHyun mengedikan kepalanya ke arah gedung di belakangnya dan berjalan ke arah gedung itu.

Tidak ada yang special dari gedung kantor ini. Kaca menjadi pembatas gedung ini dengan dunia luar, atap yang ada di ujung atas sana yang entah ada di lantai keberapa, serta keramik halus sebagai alasnya. JungAh mengikuti KyuHyun tanpa suara dan hanya terus memperhatikan ujung sepatu KyuHyun, seakan takut untuk mengangkat kepalanya namun juga takut kehilangan jejak pria itu.

“Ini tempatnya JungAh-ssi.” Tiba-tiba saja KyuHyun menghentikan langkahnya yang membuat JungAh menabrak pundak pria itu.

“Jweisonghamnida.” JungAh menunduk dalam.

“Gwaenchana, lain kali jangan melamun saat berjalan. Dan ini ruangannya.” KyuHyun mengulang kalimatnya.

JungAh mulai mengangkat kepalanya dan memperhatikan sekitarnya. Ruangan itu tidak berbeda jauh dengan suasana lobby utama, kecuali letaknya yang ada di sudut membuat ruangan itu sepi.

“Nanti aku akan meletakan counternya di sana, serta meja di sekitarnya.” Jelas KyuHyun seraya menunjuk arah yang ia maksud.

“Sebentar lagi pekerja yang akan mengatur ruangan ini akan segera datang. Ah, apa kau mau menggunakan counter yang ada di cafemu atau membeli yang baru JungAh-ssi?”

“Kurasa aku akan menggunakan yang kupunya saja.” Jawab JungAh pelan.

“Sudah kuduga.” KyuHyun mengalihkan pandangannya dari JungAh dan kembali memperhatikan sekelilingnya, tempat yang akan menjadi café dalam hitungan, mungkin bulan.

“Dan JungAh-ssi kuharap kau mem….” Ucapan KyuHyun terpotong oleh dering handphone milik JungAh.

“Changkamanyo.” JungAh membungkuk sedikit dan menjauhkan diri dari KyuHyun demi menerima telfon itu.

“Ne, eonnie?” AhRa, ialah yang menelefon JungAh.

“….”

“Jigeumyo?” (Sekarang?)

***

JungAh terus merasa bersalah setelah meninggalkan KyuHyun sendirian, membatu di lobby kantornya. Ia mengambil langkah besar-besar agar dapat sampai ke tempat tujuannya lebih cepat. Walau AhRa sama sekali tidak menyuruhnya untuk segera datang, tapi sesuatu dalam dirinya menyuruhnya untuk berjalan lebih cepat. Ia menarik nafas panjang sebelum mengetuk pintu kayu yang cukup besar itu.

“Ne…” sahut suara lembut dari dalam ruangan. JungAh segera membuka pintu itu dan masuk kedalam. Interiornya berubah, itu yang pertama kali disadari oleh JungAh. Sofa panjang itu hilang, digantikan dengan sebuah kursi santai yang terlihat amat nyaman.

“Eoh? JungAh-ah, ayo duduk.” AhRa menunjuk kursi santai itu.

“Ada apa eonnie?” Tanya JungAh seraya duduk, dan benar saja kursi itu terasa amat nyaman.

“Aku telah berhasil menemukan beberapa cara yang mungkin bisa membantumu. Apa kau mau mencobanya?” tawar AhRa.

***

JungAh’s POV

“Aku telah berhasil menemukan beberapa cara yang mungkin bisa membantumu. Apa kau mau mencobanya?” tawar AhRa eonnie.

Aku ingin mempercayainya, aku sangat ingin mempercayainya agar aku bisa keluar dari semua hal yang mengganggu, yang mengganjal hatiku dengan sesuatu yang bahkan aku tidak ketahui asalnya, atau bahkan wujudnya. Aku sangat ingin mempercayainya, namun aku tidak bisa. Aku tidak bisa mempercayainya tanpa alasan yang jelas.

“Mengapa kau diam saja?” Tanya AhRa eonnie lembut. Suaranya, tatapan matanya padaku membuatku merasa yakin bahwa aku dapat mempercayainya, namun sekali lagi, hal itu menggangguku.

“Anggap aku ini Lee SungMin.” Aku membatu. Nama itu membuat otakku terasa membeku, seolah waktu dan udara telah berhenti di tempatnya. Aku meremas ujung dress yang aku kenakan. Aku sungguh membenci nama itu, aku sama sekali tidak mau mendengar nama itu lagi.

“JungAh-ah, coba kau anggap aku SungMin dan..” aku bengkit berdiri bahkan sebelum AhRa eonnie selesai berbicara.

“Jweisonghaeyo.” Aku membungkukkan badanku dan berpamitan pergi.

“JungAh-ah,” AhRa eonnie menahan tanganku, “jangan seperti ini dan coba saja, eung?” Aku menatap mata noona dari namja aneh yang selalu muncul disekitarku itu tanpa ekspresi.

“Naega wae?” Tanyaku dingin kemudian menghempaskan genggaman AhRa eonnie.

“Hanya sebentar saja JungAh-ah, anggap aku ini Lee SungMin dan..” Aku melayangkan tanganku dan berakhir dengan tamparan keras. Lee SungMin, bahkan namja itu agak terhuyung kebelakang. Aku mengedipkan mataku beberapa kali, setelah itu aku menyadari bahwa orang yang kutampar tadi sama sekali bukan Lee SungMin, melainkan AhRa eonnie.

“Eo..eonnie…” aku meremas tanganku sendiri dan melangkah mundur, “Mi.. mianhae, na..”

“Gwaenchana, coba anggap aku ini Lee SungMin dan katakan apa saja yang ingin kau katakan padanya.” Balas AhRa eonnie dengan senyum.

Perlahan tapi pasti, wajah tenang AhRa eonnie berubah menjadi wajah Lee SungMin. Aku berusaha untuk menghilangkan halusinasi itu, namun aku terus gagal. Semakin lama aku menatap wajah itu amarah semakin muncul dari dalam diriku.

“Apa kau membenciku?” Tanya namja itu.

“Geurae! Aju Miwo!” balasku tegas dengan dagu terangkat tinggi.

“Wae?” tanyanya lemah.

“Wae?! Kau bertanya mengapa? Mengapa tidak kau tanyakan pada dirimu sendiri pertanyaan itu?!” amarahku meledak-ledak. Aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi, aku sudah terlalu membenci namja ini terlalu dalam, sedalam aku mencintainya dulu.

“Coba kau jawab JungAh-ah…”

“Jangan kau berani menyebut namaku!” jeritku, “Kau mau tahu kenapa aku membencimu? Karena kau yang selalu berada di sekitarku! Karena kau selalu menjadi orang pertama yang berada di pihakku! Karena kau adalah satu-satunya orang yang mau berada dipihakku! Karena kau selalu menjadi orang pertama yang perduli padaku! Karena kau telah berjanji bahwa kau tidak akan meninggalkanku! Karena kau adalah satu-satunya orang yang dapat kupercaya! Dan karena kau telah mengkhianatiku dan meninggalkanku seperti seonggok daging berkualitas rendah!” amukku.

“JungAh-ah…” Lee SungMin, namja itu telah kembali berubah menjadi AhRa eonnie, “Kali ini, coba kau jangan berfokus pada ‘kau’ tetapi lebih kearah ‘aku’ apa yang kau rasakan, apa yang kau harapkan, coba kau jelaskan itu pada SungMin, eoh?”

AhRa eonnie menggenggam tanganku erat. Aku menundukan kepalaku dalam dan menghela nafas berat. Apa yang kurasakan? Apa yang ingin aku katakan? Aku mengangkat kepalaku untuk bertanya pada AhRa eonnie, namun sekali lagi ia telah berubah menjadi sosok Lee SungMin.

“Mengapa kau melakukan ini pada ku oppa? Apa kesalahan yang telah kuperbuat hingga kau bertindak sejauh ini?” air mata mulai menggenang di mataku, namun aku menahannya. Aku tidak boleh menangis di hadapan namja ini.

“Kau tahu aku hanya dapat mempercayaimu di dunia ini,” tambahku karna namja itu tidak membalas pertanyaanku, “Sekarang kau melakukan hal ini padaku, kau juga mengkhianatiku seperti ini sekarang lalu aku harus bagaimana? Siapa yang harus kupercaya di dunia ini? Siapa yang bisa kupercaya di dunia ini?” tangisku pecah, aku tidak bisa menahan air mata yang terus mengalir membasahi pipiku.

“Aku juga harus hidup oppa…” ucapku lemas, “Aku juga mau bahagia, aku mau bebas dari semua memori buruk yang ku miliki. Kau adalah satu-satunya alasan dan orang yang dapat membuatu melupakan memori buruku, namun sekarang kau menambah memori buruk itu. Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku harus bereaksi bagaimana pada dunia ini? Aku tidak ingin membenci siapapun, aku ingin hidup bahagia seperti gadis-gadis yang aku lihat. Aku tidak dapat hidup sendiri oppa, kau sudah tahu hal itu. Terlalu banyak yang telah menyakitiku, aku tidak dapat mempercayai siapapun dan aku tidak dapat mengharapkan bantuan siapapun. Aku tidak butuh kau mengakhiri pernikahanmu, aku hanya ingin kau tetap ada di pihakku. Aku hanya butuh seseorang yang dapat kupercayai, yang dapat menjadi penyangga saat aku terjatuh.”  Aku telah duduk di lantai bahkan sebelum aku sadari. Sebuah tangan lembut yang hangat merangkulku.

“Gwaenchana, kau bisa mempercayaiku JungAh-ah, jadi jangan khawatir. Aku akan membantumu, kau hanya harus bilang padaku saat kau membutuhkan bantuan.” Ucap AhRa eonnie tenang dan menenangkan hatiku.

“Sekarang kau boleh meluapkan semua emosimu, aku akan keluar sebentar agar kau dapat meluapkan perasaanmu dengan lebih nyaman. Menangis adalah hal yang wajar saat kau tersakiti, aku juga menangis. Aku sering menangis saat aku melihat keadaan KyuHyun, karna aku tidak dapat membantunya dari masa terkelamnya. Oleh karna itu aku ingin, aku sangat ingin membantumu. Eung?” ia mengakhiri kalimat panjangnya dengan senyuman hangat.

“Aku akan kembali.” Ucapnya seraya menggalkanku sendiri di ruangan ini.

Sendiri, iya, pada akhirnya kau hanya tertinggal sendiri. Pada akhirnya tidak ada siapapun yang dapat kau percaya, tidak ada siapapun yang mau menarikmu dari sebuah lubang yang gelap dan dalam. Tidak ada.

***

Mataku terasa amat perih. Sekitar satu jam telah berlalu dan satu jam itu kulalui dengan menangis, mengeluarkan semua kata-kata yang tidak dapat kuucapkan dengan air mata. Memang tidak ada yang dapat mengerti arti air mataku itu, namun tiap-tiap tetes air mata yang ku keluarkan membuatku merasa lebih baik. Aku mengatur nafasku yang agak kacau akibat tangisanku tadi dan bangkit berdiri, berjalan menuju jendela kaca yang amat besar di sisi meja kerja milik AhRa eonnie.

Aku menatap langit biru, mencari horizon diantara gedung-gedung pencakar langit ini. Aku juga berusaha mencari seseorang, satu orang saja yang dapat kupercaya, yang akan tetap berada di pihakku apapun yang terjadi dan yang mau menerimaku sepenuh hatinya tanpa meminta imbalan apapun dariku. Terdengar egois memang, namun itulah yang dikatakan oleh orang-orang, itulah rasa ingin dicintai, rasa ingin dihargai, rasa ingin dibutuhkan.

Aku mendapati diriku mencari sosok yang telah menyakitiku sedalam ini, walau aku tahu tidak ada gunanya menemukan orang itu dan aku juga tahu bahwa orang itu tidak memikirkanku lagi sekarang, tapi aku tetap mencari orang itu.

Mungkin ini saatnya aku menutup diriku dari dunia ini, dari semua orang yang menggunakan topeng hanya untuk mengambil keuntungan dariku kemudian membuangku begitu saja seolah aku tidak bernilai apapun.

“JungAh-ah.” Panggil AhRa eonnie tepat di sebelah telingaku, “Geurae, kau JungAh..” gumamnya pelan.

“Apa maksudmu eonnie?” tanyaku.

“Kau berdiri di depan jendela ini, menatap jauh keujung sana dan kau juga tidak mendengar saat aku memanggilmu di depan pintu tadi, kau terlihat seperti KyuHyun.”

“Geuraeyo?” tanyaku memastikan yang dibalas dengan anggukan dari AhRa eonnie.

“Aku terus berpikir dan berandai apa yang dipikirkan oleh KyuHyun sampai ia tidak mendengarku dan terlihat berpikir dengan sangat serius.” Ia menundukan kepalanya seraya mengatakan hal itu.

“Eonnie ingin tahu apa yang ia pikirkan? Karna menurutku aku tahu apa yang dipikirkan olehnya karna kami mengalami hal yang sama.” Tawarku.

“Kau tahu?” ia mengangkat kepalanya.

“Aku mencari seseorang yang dapat kupercaya, yang mau menerimaku, yang mau bertahan di sisiku apapun yang terjadi. Itu yang kupikirkan tadi.” Aku memberi jeda sejenak untuk menatap AhRa eonnie, “Aku juga memikirkan SungMin oppa, aku mencari di mana ia berada di Gwangju ini.”

“Eonnie,” panggilku lagi karna ia idak memberikan reaksi apapun, “Gwangju ini cukup besar bukan? Bahkan banyak orang dari luar Provinsi ini datang dan pergi, namun mengapa tidak ada satupun yang dapat kupercayai? Aku tidak membutuhkan banyak orang, cukup satu saja.”

AhRa eonnie tidak membalasku, nampaknya ia juga tidak mengetahui jawaban akan pertanyaanku. Hening, kami kembali terselimuti oleh keheningan dan aku kembali berkelana dalam lautan imajinasiku tentang orang yang dapat kupercayai. Lamunanku terbuyar saat AhRa eonnie berseru secara tiba-tiba.

“Aku lupa,” ucapnya seraya berjalan ke arah sofa dan kursi santai tadi, “Aku telah membeli beberapa makanan hangat. Ada tteokpoki dan eommuk, semoga kau menyukainya.” Ia menawarkan satu tusuk tteokpoki padaku yang kuterima dengan senyum hangat.

“Eonnie,” panggilku saat aku teringat sesuatu, “tadi eonnie bilang KyuHyun juga sering berdiri disana seraya berpikir sepertiku tadi?”

“Eung.” Sahutnya dengan mulut penuh. Sekarang aku tahu apa yang dipikirkannya saat aku pertama kali bertemu dengannya, saat ia duduk di tempatku berdiri tadi sampai tidak mendengarku memanggilnya, saat ia hampir saja memukulku yang membuatku ketakutan setengah mati karna memori buruk yang mengikutiku.

“Kenapa kau diam saja?” suara AhRa eonnie kembali menarikku ke dunia nyata, “Ayo cepat dimakan sebelum menjadi dingin.”

“Ne.” ucapku singkat seraya meraih tteokpoki yang ada di dekat AhRa eonnie.

“In coming!!” seru seseorang seraya membuka pintu ruangan AhRa eonnie dengan keras tanpa mengetuknya terlebih dahulu.

“Cho KyuHyun?!” seru AhRa eonnie.

“Eoh? JungAh-ssi, kau masih ada di sini.” Ucapnya seraya menutup pintu, “Aku membawakan ayam goreng yang lezat.” Ia mengangkat kedua kantung plastic di tangannya dengan senyum lebar.

“Mwoya?” serunya menatap makanan yang tersaji di meja santai ini, “Kalian membeli makanan tanpa memberi tahuku sebelumnya? Woah, itu hal yang sangat keji.” Gerutunya seraya menarik sebuah kursi dari sudut ruangan dan duduk di sebelahku.

“Cho KyuHyun,” panggil AhRa eonnie, “Pertama kau masuk ruanganku tanpa mengetuknya terlebih dahulu, kedua kau malah menyapa pasienku terlebih dahulu dan bukan aku, ketiga kau mengatai kami keji karna tidak memberi tahumu bahwa kami membeli makanan untuk kami sendiri. Apa kau harus menjadi sekanak-kanakan ini Cho…” ucapan AhRa eonnie terhenti seperti ia telah menyadari sesuatu. Tapi apa?

“Ayolah, aku lapar. Banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan di kantor tadi.” Ucap KyuHyun seraya membuka bungkus plasti ayam goreng itu dan membuka boxnya. Ia juga memindahkan beberapa potng ayam di box pertama ke dalam box kedua.

“Ja, ini untuk noona,” ia memberikan box pertama pada kakak perempuannya, “dan ini untukmu JungAh-ssi.” Ia menaruh box kedua di depanku.

Walau aku tidak melihatnya, namun aku dapat merasakan tatapan bingung dari AhRa eonnie. Aku juga tidak habis pikir dengan namja ini. Bagaimana bisa ia memberikan jatah lebih banyak kepada seseorang yang bahkan baru dikenalnya dibanding untuk noonanya sendiri?

“Ah, aku masih punya satu box lagi dan ini sup krim untukmu JungAh-ssi. Ini Strawberry Sunday kesukaan noona.” Ia kembali mengedarkan makanan.

“Jalmogolgeseumnida.” Serunya bersemangat dan mulai menikmati ayam goreng miliknya. Ia memakannya dengan amat lahap seperti tidak pernah makan selama 3 hari atau bahkan lebih. Benar kata AhRa eonnie, ia terlihat kekanakan. Tetapi justru itu yang membuatnya terlihat seperti tidak memiliki beban apapun.

“Makanlah pelan-pelan KyuHyun-ah, kau akan tersedak jika kau makan seperti itu.” AhRa eonnie mengingatkannya, “Siapa yang akan percaya bahwa kau adalah seorang CEO sebuah perusahaan jika kau makan seperti itu?”

CEO? Setahuku ia hanya seorang pegawai biasa, atau mungkin…

“Uhuk.. Uhuk..” KyuHyun tersedak dan segera meraih cola kaleng yang ia bawa tadi lalu menghabiskannya sekali tenggak, “Memangnya aku CEO apa noona? Perusahaan manapun akan hancur jika aku yang memimpinnya. Terlebih aku juga telah kehilangan akalku selama 1 tahun, dalam waktu itu, perusahaanku mungkin akan telah hancur.” Tawanya. Itu terdengar meyakinkan, tapi agak terasa aneh bagiku.

“Ah, JungAh-ssi, setelah ini kita harus pergi untuk memilih dekorasi untuk cafému nanti, apa ada yang masih perlu kau lakukan?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.

“Ne,” akhirnya aku mengeluarkan suara setelah membisu sejak pria ini memasuki ruangan, “gwaenchanayo.” Ia tersenyum dan kembali menikmati ayamnya.

***

KyuHyun’s POV

Kami telah selesai membeli peralatan yang dibutuhkan untuk café baru JungAh dan sekarang kami tengah berjalan-jalan melepas penat di taman departemen store yang kami kunjungi dengan satu cone 2 scoop ice cream di tangan kami.

“JungAh-ssi neun…” aku berusaha kembali memulai percakapan dan menghilangkan kecanggungan diantara kami, “Ah, aku memiliki begitu banyak pertanyaan namun tidak dapat menanyakannya langsung padamu.” Aku mengungkapkan perasaanku namun ia terkekeh.

Keheningan kembali mengelilingi kami. Kami berjalan tanpa sepatah katapun. Walau beberapa kali aku mencuri pandang padanya yang ternyata juga tengah menatapku dalam diam, membuang mukanya bila tertangkap yang dengan bodohnya juga kulakukan.

“Geurom,” ia mulai mengeluarkan suara, “biar aku yang bertanya tentangmu KyuHyun-ssi, karna kau telah mengetahui begitu banyak hal tentangku.”

“Geurae, johayo.” Sahutku.

“Tentang AhRa eonnie,” ia memulai kalimatnya tanpa menatapku, “pasti menyenangkan bukan, memiliki seseorang seperti AhRa eonnie?”

“Tidak juga.” Balasku dengan kepala tertunduk.

“Waeyo? AhRa eonnie sangat baik, ia juga sangat memperhatikanmu bahkan tanpa memperhatikan dirinya kurasa.” Aku mendengar kebingungan di suaranya.

“Justru itu letak masalahnya.” Aku menghela nafas berat, “Ia terlalu baik untuk membantuku beratus kali tanpa lelah dan tanpa memikirkan dirinya. Aku membenci hal itu.” Aku-ku.

“Setidaknya kau memiliki orang tua yang..”

“Tidak juga.” Potongku, “Aboji hanya terus memberiku tekanan melebihi yang bisa kutahan sejak aku kecil, dan eomma hanya bisa membuatku khawatir seperti noona. Sehingga rasanya seperti lebih baik aku tidak ada di dunia ini.”

“Ternyata memiliki orang tua tidak seindah yang kubayangkan.” JungAh duduk di sebuah kursi taman yang segera kususul.

“Karena kita telah membahas hal ini, apa tidak apa bagimu bila aku menanyakan tentang orang tuamu?” tanyaku hati-hati.

“Tidak banyak yang aku ketahui tentang orang tuaku.” Ia menundukan kepalanya, “Ibuku memberikanku pada ayahku dengan alasan ia tidak dapat merawatnya, sedangkan ayahku membuangku di depan rumah pamanku. Itu terjadi saat aku masih bayi, belum bahkan menginjak umur 1 tahun. Pamanku bilang aku hasil kecelakaan semata sehingga mereka tidak menginginkanku sama sekali.” Ia tersenyum pahit.

“JungAh-ssi, apa kau menyadari bahwa kau sangat tegar menghadapi hidup?” aku menatap tubuhnya yang rapuh itu.

“Apa maksudmu KyuHyun-ssi?” ia tetap membiarkan kepalanya tertunduk dalam.

“Maksudku, kau bisa menahan semua itu selama 26 tahun tanpa mencoba untuk bunuh diri satu kalipun.” Jelasku.

“Itu semua karena manusia keji bernama Lee SungMin.” Desisnya. Aku merasa aku telah mengatakan hal yang salah. Tidak seharusnya aku melakukan hal ini sampai sejauh ini.

“Jweis… Jweisonghamnida.” Sesalku, “Kau tidak perlu membicarakannya jika kau tidak mau.”

“Gwaenchanayo KyuHyun-ssi. Sebaliknya aku merasa bahwa aku akan merasa lebih baik jika aku mengatakan semuanya.” Ia memberikan jawaban yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.

“Baiklah kalau begitu, aku akan menjadi pendengarmu.” Sahutku.

“Dulu pada bayanganku kukira pamanku bisa menjadi sosok ayah bagiku, bahkan aku pernah memanggilnya ‘appa’ karena aku tidak mengetahuinya namun ia memukulku sebagai balasannya. Saat itu aku berumur 3 tahun.” Ia memulai kisahnya dengan hal yang tidak pernah kubayangkan, “Lalu aku mulai bersekolah, pamanku menyuruhku sekolah awalnya entah apa alsannya, yang kutahu pasti itu bukan keinginannya, karena setiap hari setelah aku pulang sekolah ia akan memukulku seraya mengatakan bahwa sekolah itu hal yang tidak perlu dilakukan, bahwa sekolah hanya membuang uang saja dan menyuruhku untuk bekerja namun aku selalu menolak.”

“Saat itu umurku 6 tahun,” ia melanjutkan ceritanya setelah membuang nafas kasar, “aku sangat lelah dengan kehidupanku yang tergolong pendek itu. Namun aku tidak dapat menahannya lagi, bocah mana yang bisa bertahan saat ia tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya dan hanya dipukul setiap harinya?”

“Aku berpikir untuk kabur dari rumah dan bunuh diri saat itu, namun saat aku tengah merencakan semuanya seraya menangis di depan rumahku, ah bukan, rumah pamanku kala itu, seseorang mengetukan sesuatu ke kepalaku namun aku tidak menanggapinya hingga kemudian aku mendengar sesuatu, ‘Na SungMiniya, Lee SungMin. Narang chinguhaja’, kalimat itu ia ucapkan dengan sangat lembut membuatku mengangkat kepalaku dan melihat tatapan lembutnya serta senyumnya yang membuatku merasa nyaman. Tepat saat itu juga aku memutuskan untuk melanjutkan hidupku, berpikir bahwa alasanku hidup adalah Lee SungMin.”

Aku memejamkan mataku, tidak habis pikir dengan sejarah hidupnya. Bahkan tanpa kusadari air mata telah mengalir di pipiku.

“Aku merasa hidupku sempurna walau banyak hal sulit yang menimpaku, namun dengan Lee SungMin di sisiku, rasanya seperti aku bisa melakukan semua hal hingga…”

“Ia meninggalkanmu dan menikahi wanita lain.” Potongku.

“Geurae, hingga itu terjadi.” Ucapnya dengan suara bergetar, aku sadari bahwa ia menangis seraya menceritakan hal ini.

“JungAh-ssi,” aku memberanikan diri merangkul pundaknya, “maaf membuatmu menceritakan hal ini. Menangislah jika kau menginginkannya, itu bisa membantumu meringankan beban di hatimu.”

Ia menenggelamkan wajahnya di dadaku untuk meredam isakannya, sedangkan aku menaruh tanganku di kepalanya dan mulai menyisir rambutnya dengan gerakan teratur.

“Jika aku memiliki AhRa noona,” aku kembali memulai percakapan, “maka aku akan menjadi sosok AhRa noona bagimu. Kau tidak keberatankan JungAh-ssi?” aku bisa merasakan ia menggelengkan kepalanya. Aku menarik wajahnya agar dapat menatap matanya.

“Aku dapat menjadi orang yang kau percayai, aku tidak akan mengecewakanmu, aku akan berada di sisimu apapun yang terjadi, oleh karna itu jangan menyerah. Arraseoyo?” ucapku setelah aku dapat menatap tepat di matanya.

“Ne.” jawabnya dengan suara serak dan kembali menenggelamkan wajahnya di dadaku.

“JungAh-ssi,” panggilku setelah 15 menit kami lewatkan dengan posisi ini, “apa tidak apa jika kita pulang sekarang? Aku harus kembali keperusahaan.”

“Ne, gwaenchanayo.” Balasnya seraya menghapus jejak-jejak airmata di wajahnya.

“Aku akan mengantarmu pulang terlebih dahulu, gajayo.” Aku menggenggam tangannya dan kami melangkahkan kaki ke tempat aku memarkirkan mobilku tadi.

***

KyuHyun’s POV

Aku mengendarai mobil ini dengan kecepatan rata-rata 50km/jam. Tidak ada lagi percakapan diantara kami, gadis di sebelahku ini tampak masih berkelana di masa lalunya. Ia hanya menatap jendela di sampingnya, mungkin melihat-lihat orang yang ada di trotoar atau di toko-toko pinggir jalan.

“Geundae…” aku kembali berusaha mencairkan suasana, “apa yang noona katakan padamu? Bahkan noona tidak pernah melakukan itu padaku.”

“Tidak banyak,” sahutnya masih menatap jalanan, “ia hanya menyuruhku untuk menganggapnya Lee SungMin.”

“Mwoya? Untuk apa hal itu dilakukan?” tanyaku dengan kening berkerut.

“Entahlah,” ia mulai menatapku, “tapi kurasa bukan itu intinya.”

“Lalu?”

“Ia ingin aku mengungkapkan apa yang kurasakan, apa yang aku pikirkan.” Jelasnya.

“Lalu mengapa harus Lee SungMin?”

“Karena ialah satu-satunya orang yang bisa kupercaya. Setidaknya sebelum semua itu terjadi.”

“Dan itu berhasil?”

“Iya, kurasa begitu.” Sahutnya lemah.

“Kau bisa membayangkan bahwa noona adalah Lee SungMin.” Aku memberikan pernyataan yang lebih terdengar seperti pertanyaan.

“Kurasa ia melakukan hipnotis atau apalah itu namanya padaku,” ia menggedikan bahunya dan mengistirahatkan punggungnya, “karena akan sulit bagiku untuk menganggap seorang wanita adalah Lee SungMin. Bila itu kau, hal akan berbeda.”

“Geurae.” Sahutku singkat, “Walau begitu aku tetap iri padamu.”

“Waeyo? Apa yang harus membuatmu iri?” ia menatapku penuh minat.

“Ya..” aku meliriknya sejenak sebelum kembali terfokus pada jalanan di depanku, “Noona bisa membantumu, namun tidak denganku.”

“Hanya itu?” ia terkekeh, “KyuHyun-ssi, intinya hanya kau harus mengucapkan apa yang kau rasakan dan bukan tentang orang yang kau benci atau yang membuatmu marah. Itu saja.” Jelasnya.

“Arraseoyo.” Balasku dengan senyum kecil, “Kita sudah sampai.”

“Gomawoyo KyuHyun-ssi,” ucapnya seraya turun, “untuk hari ini.” Ia tersenyum dan menutup pintu mobilku lalu berjalan masuk ke dalam rumahnya.

Apa yang kurasakan? Aku harus mengatakan apa yang aku rasakan? Apa yang harus aku katakan?

***

JungAh’s POV

5 bulan telah berlalu, dan café ku telah selesai dibangun di lobby kantor seorang Cho KyuHyun sejak 3 bulan lalu. Sekarang caféku terlihat sangat mewah dengan dekorasi-dekorasi yang telah dipilih olehnya 5 bulan lalu bersamaku. Jangan lupakan lukisan yang diberikan oleh Lee SungMin, aku masih memajangnya di caféku ini, bahkan itu menjadi pusat perhatian pelanggan yang dating ke caféku ini.

Well, memang tidak banyak pelanggan yang datang, hanya para karyawan di kantor ini yang telah menjadi pelanggan setia. KyuHyun juga membantuku mencari beberapa koki terbaik untuk membantu proses masak-memasak di dapur, baik memasak kue, maupun cemilan-cemilan lainnya.

Sedangkan untuk Cho KyuHyun sendiri, ia adalah pelangganku yang paling tetap. Setiap harinya di pukul 3 sore, seseorang akan datang untuk mengambil pesanan tiap harinya, Americano dan Beef Sandwich. Namun aku tidak pernah melihatnya datang ke caféku sendiri. Hanya seorang pria bernama Park JungSoo yang mengaku sebagai teman satu kubikel dengan KyuHyun yang mengambil pesanannya tiap hari.

Aku sendiri sekarang tengah mengantarkan pesanan ke lantai 2. Hong KiJun, orang yang di tunjuk oleh KyuHyun untuk membantuku menjaga counter, menaruh 3 piring Croissant ke atas nampan di tangan kiriku dan 3 gelas Milkshake di nampan sebelah kanan. Aku memutuskan untuk mengantar makanan ini lewat tangga saja. Mengingat gedung ini amat tinggi sehingga aku membutuhkan waktu cukup lama untuk menunggu lift-nya datang. Setelah selesai mengantar pesanan, aku kembali menuruni tangga untuk kembali ke counterku hingga aku sadar bahwa aku lupa meminta uang bayarannya.

Aku memutuskan untuk kembali menaiki tangga, namun seorang pria dari arah berlawanan berlari tanpa melihat diriku yang memutar arah tanpa peringatan membuatku limbung dan hampir terjatuh dari tangga. Iya, hampir. Namja yang tidak pernah kulihat batang hidungnya selama 3 bulan belakangan meraih tanganku dan menarikku kedalam dekapannya.

“HYA!” teriaknya keras yang cukup membuat telingaku sakit, “Tidak bisakah kau berjalan dengan lebih hati-hati?! Seseorang hampir terluka di sini!” bentaknya pada pria tadi.

“Jweisonghamnida. Jweisonghamnida.” Ucap pria yang telah di ujung tangga itu berkali-kali seraya membungkukkan badannya.

“Lupakan.” Bentak pria yang masih nyaman menjagaku di dekapannya kepada pria di bawah sana. Pria itu langsung melangkahkan kakinya lagi.

“JungAh-ssi,” panggilnya dengan suara yang jauh lebih lembut dari sebelumnya, “Gwaenchanayo?”

“Ne.” sahutku pelan, “Geundae KyuHyun-ssi, kau bisa melepaskanku sekarang.”

“Ah, ne. Jweisonghamnida.” Ucapnya dan segera melepaskan dekapannya.

“Geurom.” Aku memberi hormat dan melakangkah pergi.

***

JungAh’s POV

1 bulan telah berlalu sejak insiden di tangga itu terjadi dan kami tidak pernah bertemu satu sama lain lagi. Aku disibukan dengan kegiatan caféku yang semakin ramai, kurasa ia juga di sibukan kegiatan kantornya.

“Osooseyo.” Ucapku melihat 2 pria berjas rapih, yang bukan merupakan pemandangan aneh, melangkah masuk ke dalam caféku.

“Mau pesan apa tuan?” lanjutku setelah menyadari bahwa wajah mereka terbilang baru kulihat untuk pertama kalinya.

“Satu Caramel Machiato, satu Frappe, dan dua Plain Croissant.” Ucap pria yang memiliki wajah agak kebarat-baratan.

“Ne.. Semua menjadi 30000 won.” Ia segera membayar dengan cash, “Mohon tunggu sebentar.” Tambahku pada kedua pria di depanku dan menyuruh KiJun untuk membuat minumannya sedangkan aku mengambil makanan yang dipesan.

“Aku baru melihat café ini.” Ucap pria itu, nampaknya mengajakku berbincang.

“Ne, café ini baru di buka sejak 3 bulan lalu.” Sahutku.

“Ah.. Aneh, dulu tuan Cho sangat menolak ide itu.” Timpal pria satunya.

Apa maksudnya tuan Cho? Apa yang dimaksud adalah Cho KyuHyun? Ah, tidak mungkin, ia bukan satu-satunya orang bermarga Cho di GwangJu.

“Tuan Cho?” tanyaku memastikan.

“Ne, tuan Cho KyuHyun, CEO perusahaan ini. Apa kau tidak tahu?”

“Cho KyuHyun?” ulangku, kurasa aku salah mendengar nama.

“Ne, Cho KyuHyun sajang.”

“Ah, lagi pula kurasa aku tidak mungkin bertemu dengannya bukan?” aku terkekeh berusaha mencairkan suasana, “Ini pesanan Anda. Terima kasih, selamat datang kembali.”

“KiJun-ah,” panggilku cepat, “Kau jaga counter ini sebentar, ada yang harus kulakukan.” Aku segera berlari ke arah meja resepsionis setelah menyelesaikan kalimatku.

“Di mana ruangan Cho KyuHyun?” tanyaku atau lebih ke arah membentak.

“Ne?” Tanya sang resepsionis kikuk.

“Di mana ruangan Cho KyuHyun?!” kali ini aku benar-benar membentaknya.

“La..lantai 27.” Ucapnya tergagap. Lantai 27? Itu merupakan lantai tertinggi di gedung ini.

Aku segera melangkahkan kakiku menuju lantai 27 tanpa mengatakan terima kasih pada sang resepsionis. Aku terus menghentakan kakiku, tidak sabar menunggu lift ini sampai ke lantai 27. Dan begitu sampai, aku langsung menuju pintu besar di ujung lorong ini dan membukanya kasar tanpa mengetuknya.

“Siapa kau pikir dirimu sehingga membuka pintu ini tan…” bentakan pria itu terhenti saat melihatku berdiri di sebelah pintu ruangannya.

“Ju.. JungAh-ssi.” Ucapnya tergagap.

“Kau sungguh hebat KyuHyun-ssi.” Ucapku sakartis.

“Bagaimana kau… Mengapa kau..” ia tidak dapat menyelesaikan kalimat-kalimatnya.

“Waeyo?” tanyaku dengan suara lemah, “Mengapa kau tidak memberi tahuku sebelumnya?”

“JungAh-ssi, aku bi…”

“CEPAT JAWAB AKU!” jeritku.

“Mwoya? JungAh-ssi, kau tidak boleh di sini.” Ucap suara yang kukenal, Park JungSoo.

“Gayo hyung.” (Pergilah hyng) Usir pria itu.

“Geundae…”

”Ah, garago hyung!” (Kubilang pergi hyung) Pria itu membentak Park JungSoo bahkan sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Kurasa JungSoo tidak memiliki pilihan lain selain menuruti perintah Cho KyuHyun. Ah iya, ia merupakan bos tertinggi di sini bagaimanapun.

“JungAh-ssi, kuharap kita bisa menyelesaikan masalah ini dengan tenang.” Ia menaruh berkas yang tadi ada di tangannya.

“Bagaimana aku bisa tenang kalau kau menipuku seperti ini?!” bentakku sekali lagi. Pria itu diam, tidak memberi balasan apapun, maka dari itu aku memutuskan untuk melanjutkan kalimatku.

“Kau bilang aku bisa mempercayaimu, kau bilang kau tidak akan mengecewakanku, tapi apa yang lakukan sekarang?!” bentakku, “Mengapa kau tidak memberi tahuku? Apa memberi tahuku tentang jabatanmu di kantor ini begitu sulit?”

“Bukan hanya satu kali aku menanyakannya, 2 kali sudah aku menanyakan hal itu tapi tidak satu kalipun kau menjawabku dengan jujur!” aku membiarkan amarahku memuncak, “Jika kau juga melakukan hal ini lalu siapa yang dapat kupercaya KyuHyun-ssi?”

Hening. Ia tidak membalas kalimat panjangku.

“Apa kau sudah selesai berbicara JungAh-ssi?” ia bertanya, “Jika iya, biarkan aku menjelaskan menurut cara pandangku.”

“Coba saja lakukan.” Sahutku dingin.

“Aku tidak ingin menipumu dengan hal ini JungAh-ssi, aku hanya… “

“Lalu apa maksudmu dengan…” aku memotong ucapannya namun ia kembali memotongku.

“DENGARKAN AKU DULU SEPERTI AKU MENDENGARKANMU TADI!” bentaknya yang membuatku menundukan kepalaku. Takut, terintimidasi, itulah yang kurasakan sekarang.

“Aku tidak pernah bermaksud untuk menipumu JungAh-ssi, aku hanya ingin kau tidak melihatku sebagai seorang CEO dengan jabatan besar dan uang banyak, aku ingin kau melihatku sebagai KyuHyun, seorang manusia bernama Cho KyuHyun. Bukan seorang CEO perusahaan besar.” Ucapnya tenang.

Aku mengangkat kepalaku dan menatap matanya, untuk memastikan apa ia berbohong atau tidak. Namun aku tidak dapat yakin dengan observasiku sendiri. Aku tidak yakin apa ia jujur atau berbohong, karena tatapan matanya selalu terlihat sama. Mungkin ia pembohong unggul, iya, pasti itulah jawabannya.

“Aku juga ingin memberi tahumu suatu saat nanti, namun aku takut itu akan membuatmu semakin trauma atau sejenisnya.” Tambahnya.

“Apa maksudmu KyuHyun-ssi?” aku mengerutkan dahiku karena tidak mengerti kalimatnya.

“Lee SungMin itu,” ia memberi jeda sejenak, “ia merupakan anak seorang pemilik perusahaan bukan? Berarti ia akan menjadi seorang CEO sama sepertiku. Kupikir kau akan berpikir bahwa semua CEO di dunia sama, oleh sebab itu aku tidak memberi tahumu. Hanya untuk memberimu waktu sampai kau bisa berdamai dengan masa lalu mu, itu saja.” Jelasnya.

“Itu saja alasannya?” ia mengangguk, “Kau tidak mengarang semua ini kan, KyuHyun-ssi?”

“Astaga! Untuk apa aku mengarang semua ini JungAh-ssi?” ia mengacak rambutnya yang tertata rapi itu.

“Lalu mengapa kau menyembunyikan itu dariku? Untuk apa kau memberiku waktu? Dan apa maksudmu kau ingin aku melihatmu sebagai manusia bernama Cho KyuHyun dan bukan seorang CEO besar?” aku mengeluarkan semua rasa penasaranku.

“Untuk pertanyaan pertama, karena aku ingin menjaga perasaanmu, menjaga pandanganmu tentangku.” Ia menjawab pertanyaanku dengan tenang, “Kedua, karena aku tidak mau kau mengalami hal yang telah kulewati JungAh-ssi.”

“Dan ketiga,” ia menghela nafas pelan sebelum mengucapkan, “karena aku mencintaimu.”

Aku membatu, tidak bisa bergerak. Bahkan aku merasa waktu telah berhenti.

“Kyu..KyuHyun-ssi,” akhirnya aku bisa mengeluarkan suaraku, “Apa maksudmu?”

“Saranghaeyo, JungAh-ssi.” Ulangnya sekali lagi.

Aku hanya bisa membuang nafas kasar berkali-kali untuk membuat pikiranku berjalan dengan lebih jernih. Siapa yang gila di sini?

“Ani… Apa ini sejenis acara dengan kamera tersembunyi? Acara TV di mana ada yang ditipu di sini hanya demi kesenangan orang-orang?” aku masih belum bisa mempercayai hal yang terjadi sekarang.

“Bukan,” sahutnya dengan bahasa tidak formal, “ini bukan acara semacam itu JungAh-ah..”

“KyuHyun-ssi,” aku memejamkan mataku, terlalu banyak yang harus diproses otakku, dan itu membuatku pusing, “apa kau baru saja berbicara informal denganku?”

“Geurae, aku berbicara informal denganmu, lalu apa?” kali ini ia meninggikan suaranya.

“Kita tidak dalam hubungan dekat yang…”

“Kubilang aku mencintaimu!” bentaknya, “Apa kau tidak mengerti? Atau kau tidak bisa mempercayaiku?” Aku diam, tak menjawab satupun pertanyaannya.

“Jika kau tidak mempercayaiku, apa alasannya? Apa karena aku tidak memberi tahumu kalau aku CEO di sini atau apa?” Aku tetap diam, tidak tahu harus memberikan reaksi seperti apa. Semua hal aneh yang terjadi hari ini membuatku tidak bisa berpikir jernih.

“Wae?” akhirnya hanya satu kata itu yang berhasil keluar dari mukutku.

“Aku juga tidak tahu mengapa.” Bisiknya yang terdengar seperti desauan angin, “Aku terus menanyakan hal yang sama pada diriku selama berbulan-bulan, namun aku tidak dapat menemukan jawabannya.”

“Sejak mengapa, sejak kapan, dan bagaimana aku bisa merasakan hal ini? Aku masih belum bisa menjawab pertanyaan itu.” Tambahnya lagi, “Apa itu terjadi sejak aku bertemu denganmu di cafému waktu itu, atau sejak kita mencari dekorasi untuk café barumu atau sejak aku menolongmu di tangga waktu itu, aku tidak tahu.”

“Apa aku merasakan hal ini karena kau mengalami hal yang sama denganku, atau karena aku merasa iba padamu, atau karena aku tidak ingin kau terluka sepertimu, aku juga tidak tahu.” Ia menghela nafas, “Sekarang semuanya terserah padamu JungAh-ssi, apa kau mau mempercayaiku atau tidak. Kau boleh pergi sekrang.” Ia menunjukan punggungnya padaku.

Seluruh intput yang diberikan ke dalam otakku tidak dapat kuterima begitu saja. Itu menyebabkan badai besar di otakku dan membuatku pusing. Semua ini terlalu tiba-tiba dan tidak masuk akal bagiku. Namun begitu, tanpa kusadari aku tengah melangkahkan kakiku ke hadapan pria ini, menyisakan jarak beberapa centi meter antara diriku dan dirinya.

“Nado..” ucapku secara informal tanpa kusadari, “Aku juga mengalami hal yang sama KyuHyun-ssi, aku tidak tahu mengapa dan bagaimana hal itu terjadi padaku. Bahkan itu adalah hal paling tidak mungkin, setidaknya kukira. Namun denganmu, aku juga tidak tahu mengapa. Atau bahkan sejak kapan. Aku benar-benar tidak tahu.”

“Jika kau mengatakan bahwa kau mencintaiku,” lanjutku, “karena kau mengalami hal yang sama seperti yang kualami, kalau benar begitu, kurasa aku juga mencintaimu KyuHyun-ssi.”

Tanpa sepatah kata, tanpa peringatan sebelumnya, bahkan tanpa pernah kupikirkan atau kubayangkan, pria ini tiba-tiba saja berbalik dan menarik tengkukku. Menenggelamkan bibirku kedalam bibirnya. Lembut, itulah kesan pertama yang kudapat. Perlahan namun pasti ia mulai menyesap bibir atasku. Manis, itulah yang kurasakan kemudian.

Aku mendapati diriku telah terlena dengan perlakuannya padaku. Hal ini, tidak pernah kubayangkan, bahkan tak sekalipun kuharapkan, namun begitu, hal ini tetap terjadi padaku. Setelah waktu berlalu selama, entah berapa lama, ia melepaskan tautan bibir kami dan menatap mataku lembut.

“Kalau begitu,” ucapnya dengan nafas agak terengah, “kita bisa berbicara secara informal, bukan begitu JungAh-ah?”

“Eung.” Aku mengangguk pelan, bagaimanapun aku masih dapat merasakan deru nafasnya dengan jarak sedekat ini.

“Kalau begitu kau harus memanggilku oppa mulai saat ini.” Satu detik setelah ia mengeluarkan pernyataan yang lebih terdengar seperti perintah itu, ia kembali melumat bibirku.

Nyaman, itulah perasaan yang pria ini berikan padaku. Entah bagaimana, entah mengapa, ia bisa memberikan efek itu padaku. Aku merasa aman saat berada disekitarnya, dan aku dapat mempercayai diriku sendiri, bahwa aku bisa mempercayai pria yang tengah mengeratkan dekapannya padaku ini.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa dan mulai membalas perlakuannya pada bibirku, tenggelam dalam kenikmatan yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Entah berapa lama waktu yang telah berlalu, namun pria ini masih tidak mau melepaskan bibirku. Begitupun denganku, walau nafasku agak sedikit terganggu karnanya, namun rasanya aku enggan melepaskannya.

“CHO KYUHYUN!” teriakan itu menyentak kami, membuat kami melepaskan tautan bibir kami. Aku menemukan sosok pria paruh baya berdiri di sebelah pintu ruangan KyuHyun, menahan amarah.

“A..Aboji.” ucap pria di sebelahku, terkejut.

Aboji? Pria paruh baya itu adalah ayah dari pria ini?

TBC~

Jjann! inilah dia part 8 dari Bittersweet, sorry lama bgt buat ngepost ini, udh sebulan lebih. Author memiliki beberapa kesibukan tiba2, and I’m very sorry for it.

The first kissing scene i’ve ever made, bisa kasih saran? ahahhha, temen2 author bilang author itu romantis but I don’t think so, karna itu author mencoba membuat scene macam tu.

And now, thanks for reading, sorry for typos dan jangan bosen-bosen baca ini dan menunggunya. dan aku sangat ingin tahu kalian tuh pengennya kyk apa ceritanya, biar ceritanya pun sesuai dengan yang kalian inginkan.

Once again, thank you very mochi, (ala2 leeteuk) and see y’all soon ^^

PS: Selamat puasa bagi yang melaksanakannya, semoga bisa full puasanya. Semangat!!

5 thoughts on “Bittersweet (Part 8)

  1. baru moment manis saling mengungkapkan tapi tuan cho udah merusak suasana aja
    jangan sampai depresi mereka berdua terjadi lagi
    udah bagus kan keduanya bisa mulai melupakan masa lalu sedikit demi sedikit

    Like

  2. Ya ampunnnn
    Bau2nnnya appa gyu ga setuju nie ama jungah aduhhh

    Please jgn terlalu complicated chingu

    Aminnnnnn
    Iya selamat beribadah buat yg ngejalaninn ibadah puasa

    Like

Leave a comment