After the Sermon (Sequel of Sunday Morning)

PS: FF ini sudah pernah di post di sujuff2010

After the Sermon

Semua orang berhambur keluar menandakan acara telah selesai. Masih terdengar jelas di kepalaku Khotbah pendeta barusan yang mengatakan bahwa mungkin kita memang memiliki rencana yang bagus demi diri kita sendiri serta orang yang kita cintai, namun Tuhan selalu memiliki rencana yang lebih baik lagi bagi diri kita serta semua orang. Aku benar-benar menyukai tema itu. Setelah merenung, aku bangkit berdiri lalu menggengam tangan MinJung yang masih merenungkan perkataan dari. Tidak lama kemudian ia membuka matanya dan menatapku.

“Gajja.” Ajakku. Lalu ia bangkit berdiri dan berjalan kedepan pintu. Beberapa adegan hangat terlihat di depan mataku. Beberapa umat berdiri melingkar dan saling bercengkrama, bahkan tertawa hangat beberapakali. Aku mulai mencari dua sosok orang yang sudah menjemput kami tadi, hingga MinJung menunjuk kesalah satu arah. Kulihat EunHyuk sedang berbicara serius dengan pendeta barusan. Tanpa menunggu lebih lama lagi aku menarik lembut tangan MinJung untuk datang kesana.

“Selamat pagi pak pendeta.” Aku memberi hormat.

“Ah.. SiWon-ssi, oraenmanieyo.” Ia menjabat tanganku hangat. Aku hanya mengangguk cepat.

“KyuHyun oppa-ga eodijji?” Tanya MinJung.

“Itu dia.” Eunhyuk menunjuk kearah lapangan parkir “kurasa ia lupa lagi dimana ia menaruh mobilnya.”

“Aigoo, percuma saja ia pandai matematika bila dimana ia memarkir mobilnya saja tidak bisa ingat.” Gumam MinJung. KyuHyun merupakan sunbae MinJung se-masa SD dan katanya ia memang terkenal dengan kepandaiannya dalam matematika sampai ia pernah mewakili sekolahnya untuk beberapa olimpiade matematika.

“Hyung!” tiba-tiba saja KyuHyun sudah ada di depan mataku “Aku tidak bisa mengingat dimana mobilku kuparkir.” Baru saja aku hendak membuka mulut, sang bapak pendeta menjawabnya terlebih dahulu “Bukankah tadi mobilnya diparkir di depan mobil saya, KyuHyun-ssi? Tadi saya melihat saat kalian turun, ada diluar sebelah kiri gerbang.” KyuHyun mengerutkan dahinya sebentar lalu menepuknya dengan cukup keras.

“Ah matta! Gamsahamnida!” KyuHyun memberi hormat pada bapak pendeta itu “Gajja hyung, MinJung-ah!”

Lalu kami memberi hormat pada bapak Pendeta itu dan mulai melangkahkan kaki menuju mobil KyuHyun. Namun tiba-tiba saja MinJung yang berjalan disebelahku menghentikan langkahnya. Aku segera menoleh untuk menatap matanya, namun matanya terarah pada sisi lain dari gereja ini. Sebagai gerakan refleks aku, sekali lagi, memalingkan perhatianku pada arah yang MinJung tatap. Taman gereja. Itu yang mataku tangkap untuk pertama kali. Aku menatap MinJung serta taman itu bergantian. Taman itu… aku melihat MinJung melangahkan kakinya menuju taman itu. Entah apa yang menarikku, aku ikut melangkahkan kaki menuju taman itu.

“Hyung! Eodiga?! SiWon hyung?! Hya Kim Mi…” aku tidak menghiraukan lagi teriakkan-teriakkan KyuHyun. Tujuanku hanya satu, taman itu.

***

“Apa yang kau pikirkan?” tanyaku memecah keheningan yang telah tercipta sejak sekitar 10 menit yang lalu. MinJung tidak menjawabku, ia hanya menghela nafasnya lalu tersenyum. Keheningan kembali tercipta. Pikiran kami melayang entah kemana bersama. Sampa MinJung menatapku seraya mengamit tanganku.

“Oppa,” panggilnya lembut, suaranya begitu lembut, suara yang ingin terus kudengar sampai kapanpun, suara yang takkan kulupakan sampai kapanpun, suara yang takkan membuatku bosan mendengarnya “gomawo. Karena telah datang saat itu, aku merasa sangat berterima kasih. Jeongmal gomawo oppa.” Aku hanya menatap matanya lembut, kehabisan kata-kata. Matanya mulai berkaca-kaca tanpa kusadari. “Gomawo oppa, jeongmal gomawo, neomu gomabtagu..” tangisnya pecah.

“Ssstt, uljima… nan yogi itnikka, uljima.” (Aku ada disini, maka jangan menangis) ucapku sambil terus mengelap air matanya yang terus berjatuhan. Pikiranku kembali melayang kemasa itu. Tangiskupun tak bisa kutahan lagi, aku memeluk MinJung erat, memastikan ia aman dan tidak ada apapun yang akan melukainya, baik sekarang maupun dimasa mendatang. Masa itu, masa yang terasa baru saja kemarin terjadi, aku masih mengingatnya dengan jelas, pertemuan pertamaku dengan MinJung.

FLASHBACK

“Ayolah pak, jarang saya akan mendapatkan waktu senggang seperti sekarang ini. Karena sudah sulit bagi saya untuk melakukan pelayanan gereja, setidaknya biarkan saya menyapu taman itu.” Sudah 20 menit aku berdebat dengan bapak penyapu taman ini. Sejak debut dan menjadi member Super Junior aku tidak lagi memiliki banyak waktu senggang untuk melakukan pelayanan gereja.

“Geurae arraseo arraseo.” Akhirnya pak Kim menganggukan kepalanya.

“Gamsahamnida! Gamsahamnida! Aku akan mengerjakannya dengan baik. Flawless!” aku segera mengambil sapu serta pengkinya, dan tempat sampah lalu setengah berlari ke taman itu. Sejak kecil aku terbiasa bermain disana bersama adikku JiWon tentunya. Aku mulai menyapu dengan semangat, menyapu setiap inchi taman itu dengan teliti. Sampai tiba-tiba saja aku melihat seorang gadis terlelap di sudut terpencil taman ini. Aku terkejut dan langsung membangunkannya dengan hati-hati.

“Jogi Agassi, mwohaneundeyo?” (Permisi, nona apa yang anda lakukan?) tanyaku hata-hati. “Agassi, ireonaseyo. Agassi, Agassi…” tiba-tiba saja ia terlonjak kaget. Wajahnya menunjukkan ketakutan yang teramat. “Aga…”

“Nu…Nu..Nuguseyo?” tanyanya gemetar seraya langsung mengambil tasnya dan memeluknya erat.

“Ah… Jweisongeyo, saya hanya petugas sapu di sini dan…” ia memperhatikan sekitarnya.

“Ah, geurae, jweisongeyo.” Ia segera bangkit dan membungkung 90 derajat. Tanpa mengucapkan sepatah katapun ia melangkah meninggalkan taman ini. Belum berapa langkah ia limbung seperti hendak terjatuh. Reflex aku menangkap tubuhnya yang terasa sangat lemah itu.

“Gwaenchanayo?” tanyaku sedikit khawatir. Bagaimanapun ia seorang wanita dalam kondisi yang kurang baik, kurasa.

“Gwaenchanayo. Tidak perlu mengkhawatirkan saya.” Ia hendak melepas tubuhnya yang kutopang, namun sebelum berhasil ia pingsan.

***

Aku terus menunggunya tersadar. Sudah sekitar 10 menit ia terbaring kursi ini tanpa bergerak sedikitpun. Wajahnya terlihat sangat pucat juga menggambarkan bahwa ia sedang dalam tekanan berat. Dugaan pertamaku, ia lari dari rumah dan tas yang ia bawa menjadi buktinya. Tak lama aku melihat cairan bening mengalir dari matanya, ia juga menggengam kursi ini dengan kuat yang membuatku semakin khawatir.

“Agassi, gwaenchanayo? Agassi…” aku berusaha membangunkannya. Ia membuka matanya dengan kasar, nafasnya terengah, lalu ia mulai melihat sekelilingnya, dengan takut. “Agassi, gwaenchanayo. Anda sekarang berada di dalam gereja. Jangan khawatir…” ucapku menenangkan yang berubah menjadi pertanyaan diakhir.

“Nuguseyo?” tanyanya lagi. Kuputuskan untuk memperkenalkan diriku saja. Ia tidak cukup terkejut dari bayanganku. Setelah itu, ia menyebutkan namanya. MingJung. Kim MinJung. Mungkin bukan nama yang jarang digunakan kebanyakan orang, tapi aku suka konsep itu, ia sederhana. Bisa dibilang begitu. Aku mulai menanyakan alasan bagaimana ia bisa sampai disini dengan hati-hati. Dan wajahnya berubah muram seketika.

“Itu… ceritanya panjang.” Jawabnya ragu.

“Gwaenchanayo, ceritakan saja MinJung-ssi, aku akan mencoba menjadi pendengar yang baik.” Ucapku meyakinkannya.

“Sebenarnya, ini semua berwal sejak aku berumur 3 tahun. Kala itu, orang tuaku bercerai. Karena umurku yang masih terlalu muda, aku harus ikut dengan ibuku, sedangkan oppaku, tinggal bersama appa. Ibuku seorang CEO ternama di Korea, bisnisnya juga maju, maka dari itu, aku hidup bagaikan seorang tuan putri. Semua serba terjamin, bahkan hal yang kurang pentingpun bila aku menginginkannya, aku bisa mendapakannya. Aku hidup bahagia, sangat bahagia. Namun ada satu hal yang mengganggu pikiranku, kenapa, kenapa mereka bercerai.”

“Semua misteri itu mulai terungkap pada ulang tahunku yang ke sebelas. Kala itu, oppaku datang, membawakan hadiah untukku. Aku pada awalnya merasa caggung karena jarang sekali bagiku untuk bertemunya. Namun beberapa menit kemudian aku sudah akrab dengannya. Dan tak lama kemudian appa datang, dalam keadaan setengah mabuk kurasa. Ia mengamuk, lalu memukul oppa. Aku berusaha melindungi oppa, namun Ahn ahjumma menarikku lalu menyembunyikanku di kamarku. Bagiku, itu lebih seperti ia mengurungku disana. Selanjutnya aku mendengar suara eomma, aku ingin keluar, sangat ingin keluar, namun Ahn ahjumma menjaga pintu kamarku. Suara pukulanpun mulai terdengar. Aku tidak mengerti apapun, aku ketakutan dan aku hanya bisa menangis dalam diam tanpa siapapun mengetahuinya. Kau yang pertama.” Ucapnya yang mulai menitikkan air mata.

“Kemudian,” lanjutnya “pada ulang tahunku yang ke-15 aku, seperti biasa, meminta hadiah apapun yang pasti akan dikabulkan oleh eomma. Maka aku meminta penjelasan akan perceraian eomma dan appa, serta aku mau oppa datang. Maka, oppa datang, namun eomma belum mau menjelaskan mengapa ia bercerai. Bagiku, oppa datang saja sudah cukup bagiku. Hari itu juga kuketahui oppa tidak memiliki handphone, maka aku meminta eomma membelikannya satu, aku juga menyadari bahwa ia memiliki banyak luka serta lebam di wajah, tangan, bahkan kakinya. Aku yakin pasti akan lebih banyak lagi di punggungnya, saat aku bertanya mengapa, ia tidak mau menjawab. Hari itu appa juga datang. Namun kali ini aku tidak bersembunyi, aku ingin tahu apa yang terjadi dengan keluarga ini keluargaku. Lalu yang kulihat adalah appa menghajar oppa habis-habisan, dan eomma yang berusaha melindunginya bagaimanapun. Sebaliknya appa mencaci eomma, bahkan mendorong eomma hingga terjatuh lalu membawa oppa pergi.”

“Aku semakin dekat dengan oppaku melalui handphone yang eomma belikan. Aku dan oppa sering bertemu diam-diam, baik itu di café, mall, atau sekedar di halte bus. Kusadari bahwa dengan kesempurnaan hidupku, ada yang harus di korbankan. Oppaku lah korbannya. Sejak perceraian itu, tak pernah sekalipun ia menginjakkan kaki ke sekolah lagi. Appa tidak mau repot-repot memikirkan sekolah oppa, bahkan makan oppapun tidak appa pedulikan. Pada saat hari kelulusanku dari SMA sudah dekat, aku mengajak oppa datang dan menyuruhnya berjanji bahwa ia akan datang. Namun, sampai acara selesai oppa tidak kunjung datang. Aku marah saat itu, aku tidak mau berbicara dengan siapapun. Sampai satu minggu kemudian appa datang, lagi. Kali ini bukan untuk berkata kasar pada eomma atu memukul oppa, namun ia memaksaku ikut dengannya. Eomma melindungiku dengan semua usahanya. Aku terus memberontak, aku tidak ingin tinggal bersama appa. Kemudian kudengar bahwa seharusnya oppa datang ke pesta kelulusanku, seharusnya bila ia tidak mengalami kecelakaan yang merenggut nyawanya. Aku sangat terpukul. Lalu appa pergi, namun bukan untuk selamanya. Sedikitnya 2 hari sekali appa datang. Masih dengan tujuan yang sama, merenggutku dari eomma.”

“Lalu, tahun lalu eomma meninggal karena kecelakaan beruntun yang ia alami. Meninggalnya eomma membuat appa bebas mengambilku, sebenarnya aku sudah bebas, umurku sudah 20 tahun lalu. Aku sudah bebas, namun appa masih tidak ingin melepasku. Perusahaan eomma direbut oleh seorang pekerjanya, dan aku tidak bisa menyelamatkannya. Akhirnya dengan berat hati, aku ikut appa. Dan kusadari mengapa eomma berpisah dengannya. Hidup appa sangat tidak teratur. Ia jarang sekali pulang, bahkan tidak bekerja. Aku bekerja disebuah café, menjadi barista disana. Beberapa waktu kemudian aku mengetahui bahwa selama hidupnya appa selalu berjudi. Oppa dipaksa bekerja olehnya, bila tidak appa akan memukuli oppa. Suatu hari, appa datang dengan marah, ia bersama dengan seorang ahjussi, awalnya kukira ia hanya salah seorang teman appa. Namun tiba-tiba saja aku dipaksa ikut dengannya. Aku panik, tidak ada siapapun yang membantuku. Aku dibawa kerumah ahjussi itu. Dan….” Tangisnya pecah sejadinya. Ia tak mampu melanjutkan ceritanya. Tanpa diberitahupun aku bisa mengerti bahwa ia dijadikan ‘bahan taruhan’ oleh appanya.

“Lalu, kau kabur dari rumah ahjussi itu?” tanyaku perlahan yang dijawab dengan anggukan lemah olehnya. “sudah berapa lama kau lari?”

“3 hari, aku berada disana sekitar 4 hari.” Ucapnya masih dalam tangisnya. Dengan ragu aku mengusap punggungnya, berusaha memberi ketenangan.

“Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja.” Aku menghapus air matanya dengan saputanganku.

“Bagaimana? Bagaimana kau bisa yakin semua akan baik-baik saja? Appa serta ahjussi itu pasti akan mencariku dan aku bahkan tidak memiliki tempat untuk tinggal. Bagaimana bisa semuanya baik-baik saja?!” raungnya. Aku sendiri bingung, tak tahu apa yang harus kulaukan. Kemudian entah dorongan dari mana, aku berkata kepadanya “Semuanya akan baik-baik saja, karena aku akan menjagamu seumur hidupku. Aku akan berusaha mengatasi semuanya. Bila ahjussi itu datang, aku akan memberikannya sejumlah uang agar ia tidak akan kembali lagi. Bahkan bila itu appamu sekalipun.”

“Andwae!” tolaknya seketika “jika sekali kau memberi appaku uang, ia akan terus memintanya lagi-dan lagi.”

“Kalau begitu, aku akan memberikannya setiap bulan. Jangan khawatir, karena aku ada disini, jangan menangis, karena aku ada disini.” Aku memberanikan diri memeluknya “Aku berjanji, aku akan menjagamu seumur hidupku.” Ucapku tanpa sadar sekali lagi.

Tanpa kusadari, itu adalah janjiku yang telah kuucapkan dihadapan Tuhan sendiri. Aku telah berjanji padanya serta Tuhan bahwa aku akan menjaganya seumur hidupku. Terdengar berat, namun aku yakin, itu pasti akan menjadi sangat menguntungkan bagiku.

“Sementara ini, kau tinggalah di rumah keluargaku, arraseoyo?”

“Ne, algeseumnida.” Angguknya.

FLASHBACK END

***

“Hya… sampai kapan kalian akan menangis dalam posisi itu?” ocehan KyuHyun memecah lamunanku. “Aku ada latihan musical sebentar lagi.”

“Aish! Arraseo. Aku sudah selesai! Puas?! Menyebalkan” omel MinJung yang langsung mengambil langkah seribu. Sedangkan aku langsung melototi KyuHyun dengan seramnya.

“Apa?! Apa salahku?” tanyanya polos, atau berpura-pura polos.

“Lupakan!” seruku bersama dengan EunHyuk lalu mulai melangkahkan kaki meninggalkan KyuHyun sendiri disana.

“Hyung! Bukankah seharusnya aku yang marah? Hyung?” seru KyuHyun tanpa henti. Kurasa ia belum cukup dewasa untuk mengerti jalan pikirku… Keterlaluan.

Fin~

Ja… Bagaimana? Typos? Harusnya ada. Sebenernya pada awalnya ceritanya nggak begini, tapi karna idenya pas lagi di angkot itupun pas berangkat sekolah, jadi pulangnya pas mau ngetik, berubah deh ceritanya. Baiklah, sekian cerita dari saya. Thanks for reading…

DON’T FORGET TO LEAVE COMMENT… ^^ (It will be very useful)

 

2 thoughts on “After the Sermon (Sequel of Sunday Morning)

  1. ^.^ ff yang bagus, thor… . Gak semua author bisa bentuk karakter Siwon yang ‘alim’ itu kayak gini karena well, biasanya Siwon dikasih karakter asal -.-
    Nice ff

    Like

Leave a comment